Kain Batik Pola Priangan Sunda

 Batik Pola  Priangan Sunda


Batik Pola Priangan Sunda


mencari dampak budidaya tanaman serta konsumsi kopi pada tradisi rutinitas urang Sunda, semakin banyak juga beberapa sisi yang banyak muncul serta memikat buat ditelaah. Kesempatan ini yang saya dapatkan ialah hubungan di antara budidaya kopi dengan kedatangan pola-motif atau pola-pola batik di Priangan.


Dalam hubungannya dengan hal itu, sebelumnya yang saya dapatkan ialah arti kopi pecah untuk Boekoe Batjaan Sĕsĕla pikeun Moerid-Moerid Pangkat ka Doewa (1907). Dalam buku formasi Mas Among Pradja ada cuplikan berkenaan pola kopi pecah untuk ikat kepala (iket). Cuplikannya seperti berikut, "Iket koering diseboetna batik daoen peuteuj; djaba ti ijeu, koering geus make iket: gambir saketi, kopi petjah, limar djeung poeger" (Ikat kepalaku disebutkan batik daun peuteuy; disamping itu, saya sempat memakai ikat kepala bercorak: gambir saketi, kopi pecah, limar serta puger). Dalam cuplikan di atas sekurang-kurangnya ada lima pola batik yang diketahui di Tatar Sunda, yaitu daun peuteuy, gambir saketi, kopi pecah, limar serta puger.


Pustaka ke-2 yang saya dapatkan serta baca berkaitan arti kopi pecah ialah buku dwibahasa, Merak Ngibing: Warna serta Pola Batik Priangan/The Dancing Peacock: Colours dan Polas of Priangan Batik (2010) yang dicatat oleh Didit Pradito, Herman Jusuf serta Saftiyaningsih Ken Atik. Dalam halaman 23 dihidangkan 12 pola batik ciamis, yakni parang langsung, rereng seno, rereng sintung ageung, kopi pecah, lepaan, rereng parang hancur, rereng adumanis, kumeli, rereng parang ali, rereng useup, rereng jenggot, serta rereng peuteuy papangkah. Dari daftar itu, terlihat pola kopi pecah terhitung salah satunya macam pola batik yang ada dalam khazanah perbatikan Ciamis.


Apakah benar begitu? Dari penemuan itu, saya jadi semakin ingin tahu. Oleh karenanya, seperti umumnya, saya lakukan penelusuran bermacam pustaka berkaitan kopi serta batik. Untuk info sesaat dapat dibuktikan jika arti kopi pecah rupanya tidak cuma diketahui di Priangan, tetapi dikenal juga di Jawa tengah serta Jawa Timur. Di Jawa tengah, seperti yang disebut dalam Majalah Adiluhung edisi 7 (2015), pola kopi pecah diketahui dalam khazanah batik dari Kebumen. Selanjutnya di Jawa Timur, seperti terlihat dari Banyuwangi Batik Festival 2017 diketahui juga arti kopi pecah.


 
Batik Sunda


Kecuali pola kopi pecah, pola batik yang lain yang dipengaruhi budidaya kopi sekalian dianggap kehadirannya baik di Tanah Jawa atau Tatar Sunda ialah pola kawung kopi atau kawung sari, yang sebelumnya bermotifkan batik kawung. Atau bisa saja arti kawung kopi sama dengan kopi pecah. Batik kawung ialah pola batik berbentuk bulatan seperti buah kawung (aren) yang diatur rapi secara geometris.


Sesaat pola kawung kopi berupa bulatan lonjong yang dikasih wujud garis yang memotong jadi dua sisi seakan-akan seperti wujud buah kopi pecah. Menurut Saftiyaningsih Ken Atik, ‎Herman Jusuf, ‎dan Didit Pradito dalam Batik Tatar Sunda (2008), "pola kopi pecah, macam lain dari pola kawung". Awalnya, dalam buku Tradisi Istiadat Wilayah Jawa Barat (1979) disebut macam batik yang diketahui di Jawa Barat, yaitu diantaranya, "Jalaprang, rereng, batik kawung picis, kopi pecah, parang sintung, batik panca warna, ombak banyu, sidomukti, dan lain-lain.



Arti kopi pecah saya dapatkan dalam Education and Culture (1957), Indonesische Textilien (1984) formasi Brigitte Khan Majlis, sesaat dalam buku The Book of Batik (2004) kecuali arti itu, Fiona Kerlogue serta ‎Rudolf G. Smend mengikutkan stilah kembang kopi. Mungkin sesuai namanya, pola batik kembang kopi kemungkinan besar alurnya ditimba dari wujud bebungaan kopi.


 

Itu yang saya tujuankan dianggap baik di Tanah Jawa atau Tatar Sunda. Tetapi, info di atas rasanya memunculkan kebimbangan dalam diri saya, sebab budidaya kopi sebelumnya serta khususnya dikerjakan di Tatar Sunda, terutamanya di Priangan, yang bertahan sepanjang beratus-ratus tahun, yakni dari perjumpaan untuk era ke-17, pembudidayaan lewat metode Preangerstelsel semenjak awalnya era ke-18 diteruskan dengan metode tanam paksa (Cultuurstelsel) serta liberalisasi semenjak tahun 1871 sampai era ke-20. Demikian juga arti kawung, saya berpikir kata itu diketahui khususnya dalam kandaga kebudayaan Sunda. Tetapi, saya pun tidak melawan fakta, jika pusat aktivitas perbatikan ada di Tanah Jawa, khususnya Jawa tengah, bahkan juga memengaruhi batik sunda di Priangan.


 

Kebimbangan saya di atas bawa menuju pustaka yang semakin lama kembali. Dalam ini saya menelusurinya dari beberapa sumber pustaka yang berbahasa Belanda, yang diedarkan untuk era penjajahan Belanda.



Yang paling lama ialah buku De Batik-Kunst in Nederlandsch-Indie en Haar Geschiedenis (1899) formasi G.P. Rouffer serta Dr. H.H. Juynboll. Di sini diantaranya disebut jika di Jawa Barat batik kurang banyak. Di wilayah ini batik sunda diketahui khususnya di Tasikmalaya, khususnya di Cipedes, serta Garut ("Hoewel het batikken in West-Java eigenlijk niet thuishoort, zoo voorziet toch heden ten dage dat gedeelte waar het wel gedaan wordt, met name de streek van Tasikmalaja (met Tjipedes, vlak bij de stad-zelve) en Garoet …"). Selain itu, dalam buku disebut arti yang terkait dengan batik yang diketahui dalam kebudayaan Sunda, khususnya terkait dengan arti baju, yakni samping, kebat, iket, totopong, udeng, carecet, salempay, karembong, kekemben, kampuh, pakaian, raksukan, kabaya, serta kaway. Akhirnya, pola-motif batik dari Tatar Sunda tidak tersingkap.


Buku ke-2 yang dapat disingkap ialah Catalogus der Ethnologische Verzameling van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Tweede Supplement) (1901) formasi Mr. L. Serrurier. Di sini, saya memperoleh beberapa nama pola sarung serta kebat (kain panjang) yang dikoleksi Perhimpunan Batavia dari Tasikmalaya. Pola batik sarungnya ialah kembang tanjung, daniris agung, kadu jawa, carang jantung, lelambaran, puger, serta solodoktor. Sesaat yang terhitung skema kebat ialah kembang gresikmilis, parang hancur, kembang kopi, serta golongan picis. Di sini, pola batik kopi diketemukan dalam arti "kembang kopi". Mungkin Fiona Kerlogue serta ‎Rudolf G. Smend (2004) mengangsu hal sama dari khazanah batik Tasikmalaya.


 

Buku seterusnya yang saya baca serta mengulas berkenaan batik ialah De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indie (Vol III-De Batikkunst) (1916) oleh J.E. Jasper serta Mas Pirngadie. Yang memikat dalam buku ini ialah penyebutan bermacam pola batik yang diketahui di Priangan. Di sini disebut ada pola areuy, burung ngibing, daun kekasih, daun paku, daun salak, daun cina, daun seureuh, daun asem, daun camara, daun salam, daun waluh, daun paku, daun cengkeh, daun sebe, daun jeruk, kembang ending, kembang limus, kembang tanjung, kembang jeruk, kembang areuy, kembang gandul, kupu, bayongbong, papatong, segong, sisik ikan, taburi, cabai, melati, naga, galinggem, gengge, astir, angin-angin, buket, buah limus, buah huni, buah salak, bangbara, jaksi, periode, eluk paku, kait, kupu hiber, tapal, taburi bentangan, kipas, langgir, singa pitutur, samangka, buah labu, kaki burung, mata hayam, gunawijaya, gambir saketi, banji, manuk diuk, limar colet, lantera, balagbag, gurat, lereng puger, lereng panjang, lima risen, limar tembik, malinjo, irengan, dan sebagainya.


Banyak pola batik sunda di Priangan. Tetapi, yang aneh arti yang terkait dengan pola batik kopi seperti kopi pecah, kawung kopi, serta kembang kopi tidak diketemukan selaku salah satunya skema batik di Priangan. Tetapi, bisa saja kalimat itu terhitung yang disebutkan "dan sebagainya" oleh J.E. Jasper serta Mas Pirngadie. Ingat dalam perincian di atas beberapa istilah pola batik dari macam serta sisi tumbuhan banyak disebut. Mungkin oleh J.E. Jasper serta Mas Pirngadie lewatkan tidak disebut, sebab ini ditunjukkan adanya arti kopi pecah dengan ulasan serta gambarnya dalam buku ini.


 

Menurut J.E. Jasper serta Mas Pirngadie, kopi pecah ialah skema ciri khas Indonesia, yang berdasar tebaran geometris paling simpel serta serupa nukilan dan baju kulit pohon dari Toraja. Latar hitam dipisah jadi empat persegi yang serupa, yang dilukisi gambar diagonal... (Een typisch Indonesisch patroon, gebaseerd op de eenvoudigste, geometrische verdeeling, en o.a ook veel op het houtsnijwerk en de beschilderde boomschorsdoeken van Toradja-stammen voorkomend! Het zwarte veld verdeeld in gelijke vierkantjes, waarin de diagonalen getrokken zijn).

 


Selanjutnya dalam buku Batikwerk: Tentoonstelling door het Java-Instituut, Inleiding en Catalogus (1923) formasi J. Kats diikutkan bermacam pola untuk batik yang berada di Afdeeling Surakarta, Yogyakarta, Ciamis, Tasikmalaya, Cirebon, serta Garut, khususnya yang diketemukan untuk kain, dodot, sawitan, iket, kemben, serta sarung. Diantaranya untuk Afdeeling Surakarta, diketemukan arti pola yang memakai kata kawung yakni kain kawung buket serta kain kawung esuk sore, sesaat untuk daftar di Afdeeling Yogyakarta ada kawung putri, serta kawung manuk. Sesaat yang di Tatar Sunda, tidak diketemukan pola batik yang memakai arti kawung.



Untuk batik dari Tatar Sunda akan saya daftarkan secara lengkap. Dari Afdeeling Ciamis ada pola lereng, gambir saketi, sawat, latar hitam, puger, bangreng, lereng daun peuteuy, batik segi, adumanis, lereng soyog, lereng seling, lereng seno, lompong keli, sawat birawan, lereng centung, sembagen kembang, sembagen, serta wayang. Dari Tasikmalaya, ada limar, lereng, latar hitam, lungmawar, lereng buntun, kembang kekasih, gambir sawit, semanggen, caringin, kopi pecah, jepun, satria ileu, satria bener, serta kembang cina. Selanjutnya dari Cirebon cuman ada satu, yakni pola limar cepuk. Seterusnya, dari Garut ada arti pola lereng, latar soga, sawat manuk, sawat daun, lereng gambir sawit, batik kembang, lepaan koneng, lereng kotak-kotak, lereng daun peuteuy, kembang anggur, batik laburan, serta lereng tumpal.


 

Yang membuat saya bingung, kalimat yang ada bagus di dalam khazanah batik Sunda serta Jawa ialah pola sawat serta parang. Disamping itu, yang lebih bernilai kembali, sebab terkait dengan kopi, pola kopi pecah seperti yang berada di dalam perincian pola batik yang diikutkan oleh J. Kats cuman diketemukan di Tasikmalaya. Jadi, ini berlainan yang dipastikan oleh Didit Pradito serta teman-teman (2010) yang mengikutkannya selaku bagaian dari pola batik yang diketahui di Ciamis.


 

Oleh karenanya hal, arti untuk pola batik sunda yang berdasar kopi di Priangan biasanya diketahui selaku kopi pecah, atau dalam khazanah perbatikan Jawa disebutkan kawung kopi atau kawung sari. Kehadiran pola kopi pecah atau kawung kopi untuk batik di Tanah Jawa bisa saja memperoleh dampak dari Tatar Sunda, dengan fakta budidaya kopi sebelumnya diketahui di Priangan, demikian juga dengan pemakaian arti kawung.



Tetapi, dalam sejarahnya, rupanya pola kopi pecah di Priangan sunda berlainan aslinya. Jika memeriksa info J. Kats (1923), pola itu diketahui dalam khazanah perbatikan Tasikmalaya, tapi beberapa puluh tahun selanjutnya, pola itu juga dikenal di Ciamis, seperti yang saya dapatkan dalam buku formasi Didit Pradito serta teman-teman (2010). Bahkan juga ada pola kopi pecah dari Garut, seperti yang saya peroleh gambarnya dari situs Bukalapak. Pasti ini menunjukkan ada sama-sama dampak atau bahkan juga perubahan yang bertepatan atau bersama-sama, namun tidak terdaftar oleh beberapa penulis. Serta kecuali pola kopi pecah, skema kembang kopi dikenal juga dalam ranah batik Tasikmalaya, seperti dicatat Serrurier (1901) serta Fiona Kerlogue serta ‎Rudolf G. Smend (2004).

LihatTutupKomentar